MENGENALKAN YOGA DAN MINDFULNESS (KESADARAN PIKIRAN) PADA REMAJA
Sebuah organisasi di Amerika Serikat, American Psychological Association (APA) melakukan beberapa penelitian terhadap tingkat stress pada remaja. Tahun 2013, hasil survey yang ditemukan APA hanya separuh dari responden remaja yang memiliki kemampuan mengatasi stress (1) . Tahun 2014, kembali APA melaporkan hasil penelitian bahwa kelompok orang paling stress di Amerika Serikat adalah remaja. Namun jika kita perhatikan hal ini terjadi hampir disemua kota besar, termasuk kota-kota besar di Indonesia. Seringkali kita dengar komentar orang tua yang mengatakan “Remaja sekarang ini sering sekali galau”, atau “Masa hal kecil saja bikin mereka baperan sih ?” (catatan : baperan = mudah terbawa perasaan). Lalu kita jadi bertanya, apa sebenarnya pemicu tingkat stress pada remaja saat ini?
Apa saja pemicu kecemasan/stress?Kecemasan yang sering dialami para remaja saat ini cukup kompleks. Mulai dari kecemasan terhadap kerusakan lingkungan bumi seperti climate change, kekuatiran perang, masalah ekonomi, lingkungan yang penuh dengan kekerasan, kemiskinan, juga prasangka masyarakat dan kehidupan sosial antar mereka. Tentunya faktor media sosial juga menambah faktor kecemasan pada remaja.
Dampak dari Stress.Stress berkepanjangan memiliki efek negative terhadap kesehatan dan well-being kita. Namun tidak semua stress berdampak negatif, stress dalam porsi sehat atau yang di sebut Eustress dapat memberikan dampak positif seperti memberikan motivasi kita untuk membuat perubahan dengan mampu mengatasi kesulitan atau keinginan untuk sehat sehingga kita dalam posisi yang lebih baik. Distress adalah stress yang berdampak negative pada kita. Stress dapat berpengaruh pada tubuh, pikiran, perasaan dan perilaku. Beberapa gangguan kesehatan yang dipicu oleh stress antara lain, gangguan pada lambung, rasa letih, kepala pusing, gangguan tidur, cemas, kurang motivasi, mudah iritasi, dan rasa sedih. John Ratey, seorang professor psikiater dari Harvard Medical School pada 2008 mengatakan “Jika stress tidak diatasi dengan benar, akan menjadi stress kronis yang dapat berkontribusi pada gangguan kesehatan serius seperti, diabetes, gangguan jantung, dan obesitas ” (2).
Jika dilihat dari hasil survey APA pada 2013 hanya separuh dari para remaja yang memiliki kemampuan mengatasi stress, artinya selebihnya tidak memiliki keterampilan untuk mengatasi tekanan/stress yang dihadapi pada kesehariannya. Response dari stress yang kita ketahui adalah Lari, Lawan, Diam atau Menyerah. Ini adalah response natural manusia. Di jaman purbakala, saat manusia berhadapan dengan binatang buas, reaksi stress adalah lari atau lawan agar mereka bisa selamat. Setelah mereka berhasil menyelamatkan diri dan merasa aman, maka tingkat hormon stress kortisol akan menurun di level normal. Yang terjadi pada manusia urban saat ini adalah, level stress yang terus menerus. Faktor pemicu seperti informasi berlebihan, sosial media, pola kerja yang terlalu diforsir, kurang istirahat dapat menimbulkan kondisi stress yang tidak disadari. Hal yang sama juga dialami oleh para remaja saat ini. Jika mereka terlalu lama dalam situasi ini, otak mereka akan terprogram untuk reaktif sehingga mereka sulit berpikir jernih dan kesulitan mengambil keputusan yang baik. Sudah dapat dipastikan hal ini akan memberikan dampak pada pola belajar mereka. Apa yang dapat kita lakukan untuk dapat membantu mereka ?
Jika dilihat dari hasil survey APA pada 2013 hanya separuh dari para remaja yang memiliki kemampuan mengatasi stress, artinya selebihnya tidak memiliki keterampilan untuk mengatasi tekanan/stress yang dihadapi pada kesehariannya. Response dari stress yang kita ketahui adalah Lari, Lawan, Diam atau Menyerah. Ini adalah response natural manusia. Di jaman purbakala, saat manusia berhadapan dengan binatang buas, reaksi stress adalah lari atau lawan agar mereka bisa selamat. Setelah mereka berhasil menyelamatkan diri dan merasa aman, maka tingkat hormon stress kortisol akan menurun di level normal. Yang terjadi pada manusia urban saat ini adalah, level stress yang terus menerus. Faktor pemicu seperti informasi berlebihan, sosial media, pola kerja yang terlalu diforsir, kurang istirahat dapat menimbulkan kondisi stress yang tidak disadari. Hal yang sama juga dialami oleh para remaja saat ini. Jika mereka terlalu lama dalam situasi ini, otak mereka akan terprogram untuk reaktif sehingga mereka sulit berpikir jernih dan kesulitan mengambil keputusan yang baik. Sudah dapat dipastikan hal ini akan memberikan dampak pada pola belajar mereka. Apa yang dapat kita lakukan untuk dapat membantu mereka ?
- Bagaimana Yoga dan Mindfulness dapat mendukung perubahan remaja :
- Dr. Daniel Siegel, 2014 mengatakan memasuki masa pubertas terjadi perubahan struktur yang luar biasa cepat pada organ otak remaja. Usia remaja dibagi menjadi 3 tahap :
- Tahap awal : 11-13 tahun
- Tahap menengah : 14-18 tahun
- Tahap akhir : 19-21 tahun
Setiap tahapan terjadi perubahan yang signifikan pada fisik, perkembangan otak dan tumbuh kembang secara fisiologi. Oleh karena itu, program Yoga Ed. menyesuaikan dengan tahapan tumbuh kembang anak. Yoga dan Mindfulness (Kesadaran Pikiran) dapat mendukung remaja dalam beberapa hal, antara lain :
- Identitas Diri : Yoga mengajarkan remaja untuk lebih terkoneksi ke dalam dirinya sehingga mereka dapat menemukan identitas diri mereka yang sebenarnya.
- Body Image : Yoga mengajarkan remaja untuk mengembangkan hubungan yang positif dengan tubuh mereka, melalui pengenalan pola makan sehat, memberikan alat untuk menjaga kesehatan mental dan fisik dan juga memulai kebiasan sehat. Yang perlu diingat yoga bukan kompetisi, semua orang dapat melakukan yoga. Tidak diperlukan bentuk tubuh langsing, fleksibel untuk dapat melakukan yoga.
- Stress : Yoga mengenalkan Rileksasi sebagai bagian dari latihan Yoga, hal ini dapat memberikan kesempatan pada remaja untuk melepas stress dan belajar tehnik mengelola stress yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
- Emosi : Yoga membantu meningkatkan kesadaran diri (self-awareness), regulasi diri (self-regulation) melalui filosofi inti yoga. Mereka dituntun untuk melatih intelijensi emosional (Emotional Intelligence), mendengarkan intuisi mereka saat mereka dihadapi situasi yang sulit. Dengan begitu, diharapkan mereka dapat memberikan respons yang tepat dibanding bertindak reaktif yang dapat mengarah ke pengambilan keputusan yang kurang menguntungkan.

Video can’t be displayed
This video is not available.
(1) American Psychological Association (2014, February 11). Stress in America: are teen’s adopting adult’s stress habits?. Retrieved from http://www.apa.org/news/press/release/stress/2013/stress-report.pdf(2) Ratey, J. (2008). Spark : The revolutionary new science of exercise and the brain. New York, NY: Hachette Book Group.